Jumat, 01 Oktober 2010

tugas fiqh

Pengertian Fiqh

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)

dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)

Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:

  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
  2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam

Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)

Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)

Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

Sumber-Sumber Fiqh Islam

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

1. Al-Qur’an

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.

Sebagai contoh:

Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)

Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

2. As-Sunnah

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi:

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)

Contoh perbuatan:

Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan:

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.

As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

3. Ijma’

Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:

Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

4. Qiyas

Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.

Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki empat rukun:

  1. Dasar (dalil).
  2. Masalah yang akan diqiyaskan.
  3. Hukum yang terdapat pada dalil.
  4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:

Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).

Jumat, 06 Agustus 2010

USHUL FIQH

Definisi Ushul Fiqh :

Tajuddin al-Subki dalam jam’u al-jawami’ mendefinisikan ushul fiqh dengan :
دلائل الفقه الإجمالية
“Dalil-dalil fiqh secara global”
Mahalli dalam komentarnya atas jam’u al-jawami’ menjelaskan bahwa maksud definisi ushul fiqh yang dilontarkan al-Subki di atas, ushul fiqh, ilmu yang menjelaskan tentang dalil-dalil fiqh yang global misalnya kemutlakan perintah menunjukkan wajib, larangan menunjukkan haram, ijma’ dan qiyas. Ushul fiqh tidak membahas tentang dalil-dalil fiqh yang terperinci misalnya aqimu al-salah (kerjakan sholat) dan wa la taqrabu al-zina (jauhi perzinahan).
Muh}ammad al-Khud}ari Beik mengatakan bahwa ushul fiqh ialah :
أصول الفقه هو القواعد التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من الأدلة.
“Kaidah-kaidah yang bisa dibuat untuk menggali hukum syara’ dari dalilnya” .

Maksud kaidah tersebut, ialah ketentuan universal (kulli) yang bersesuain dengan bagian-bagiannya ketika diketahui hukum bagian-bagiannya. Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana firman Allah dalam al-Quran bahwa aqimu al-salah (dirikanlah sholat) dan atau al-zakah (keluarkan zakat).
Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara’ ialah, firman Allah أقيموا (aqimu) kalimat perintah yang menunjukkan makna talab (tuntutan) yaitu kerjakan dan tidak ada tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya. Oleh karena itu, setiap kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqimu menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut aqimu yaitu sholat. Akhirnya, hasillah sebuah hukum yang dikandung dalam lafaz aqimu bahwa sholat itu wajib.

أصول الفقه في الاصطلاح الشرعي هو العلم بالقواعد والبجوث التي يتوصل بها إلى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية . أو هومجموعة القواعد والبجوث التي يتوصل بها إلى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية.

“Ushul fiqh dalam istilah syara’ ialah ilmu tentang kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang dengannya bisa menggali sebuah hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul fiqh merupakan kumpulan dari kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang dengannya bisa menggali sebuah hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Dari definisi ushul fiqh di atas, terdapat perbedaan istilah. Al-Subki mengatakan bahwa ushul fiqh ialah dalli-dalil sementara Khudari Beik mengatakan bahwa ushul fiqh ialah kaidah-kaidah dan Khallaf memberi pengertian lebih rinci lagi daripada pengertian Khudari beik bahwa ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan atau ushul fiqh adalah kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan. Namun hakikatnya, mereka sepakat bahwa ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang dalil atau kaidah yang digunakan untuk menggali hukum syara’, cara penggunaan dalil atau kaidah dalam beristinbat (menggali hukum) dan siapa yang bisa/berhak beristinbat.
Ini terbukti dari isi/kandungan karya yang telah ditulis oleh al-Subki dalam jam’u al-jawami’, Muhammad Khudari Beik dalam ushul fiqh dan Abdul Wahhab Khallaf dalam ilmu ushul fiqh.

Objek Kajian Ushul Fiqh

Dari definisi di atas bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek kajian ushul fiqh itu sudah terangkum dalam definisi ushul fiqh itu sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Rachmat Syafe’i dalam karyanya ilmu ushul fiqih bahwa secara garis besar objek kajian ushul fiqh ada tiga :

1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbat (penggalian hukum) dengan semua permasalahannya.

Dan lebih rincinya lagi ialah :
1. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Quran dan sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan lain lain baik dengan jalan pengompromian (al-Jam’u wa al-Taufiq), menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tasaqut al-Dalilayn).
4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih (manusia), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalm mengistinbat hukum dan cara menggunakannya.

Aliran-aliran Ushul Fiqh

Rahmat Syafi’i mengatakan , dalam sejarah perkembangan ushul fiqh, dikenal dua aliran, yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh untuk menggali hukum Islam.

• Aliran pertama,

disebut dengan aliran Shafiiyah dan jumhur mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoretis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun ‘aqli, tanpa dipengaruhi oleh masalah furu’ (cabang-cabang) dan madhhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Kitab standar aliran ini, antara lain: al-Risalah karya imam al-Shafii, al-Mu’tamad karya Muh}ammad ibn ‘Ali al-Basri, al-Burhan fi Ushul Fiqh karya imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul karya Abu Hamid al-Ghazali, Shifa’ al-Ghalil karya Abu Hamid al-Ghazali dan al-Mustasfa karya Abu Hamid al-Ghazali.

• Aliran kedua,

dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madhhab Hanafi. Dinamakan madhhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam madhhab mereka. Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu’ tersebut.
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini, antara lain: al-Ushul karya Abu Hasan al-Karkhi, al-Ushul karya Abu Bakr al-Jassas, Ushul al-Sarakhsi karya al-Sarakhsi Ta’ss al-Nazar karya Abu Zayd al-Dabbusi dan al-Kashaf al-Asrar karya al-Bazdawi.

Sebagian ulama menggabungkan dua aliran di atas dalam satu karya buku, di antaranya: Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati karyanya Badi’ al-Nizam, kitab yang menggabungkan Ushulnya al-Bazdawi dan al-Ihkam, ‘Ubaydillah bin Mas’ud karyanya Tanqih al-Ushul kemudian dikomentari sendiri dalam al-Taudih, kitab ringkasan dari Ushul al-Bazdawi, al-Mahsul karya al-Razi dan Mukhtasar Ibn al-Hajib, Muhammad Ibn al-Hammam karyanya al-Tahrir dan Taj al-Din al-Subki karyanya Jam’u al-Jawami’.
Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh kontemporer yang ringkas dan berfaidah, ialah : Irshad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul karya imam Shaukani, Ushul Fiqh karya Muhammad Khudari Beik dan Tashil al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul karya Muhammad ‘Abdurrahman ‘Abd al-Mahlawi.

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Muhammad Khudari Beik , syariat Islam yang ada pada kita sekarang yang telah dibawa dan disampaikan oleh Sayyiduna Muhammad saw dasar utamanya, al-Quran al-Karim dan Rasul telah menjelaskan dan menafsirkan isi kandungan al-Quran dengan sabda dan tindakannya. Al-Quran dan al-Sunnah saling melengkapi maksud dan tujuan firman Allah swt. Dengan begitu, al-Sunnah juga merupakan dasar hukum Islam dan pada keduanya, al-Quran dan al-Sunnah para imam mujtahid bersandar dan berdasar dalam menggali hukum.
Ulama menetapkan bahwa hukum syara’ yang telah diputuskan oleh Syari’ (Allah swt) semuanya mengandung illat yang kembali dan mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, jika terdapat suatu maslahah baru yang belum terdapat hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah. Akan tetapi, masalah tersebut mengandung sebuah illat yang sama dengan illatnya sebuah hukum yang lama (asal) yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah maka masalah baru itu, bisa dihukumi dengan hukumnya masalah lama dengan pertimbangan adanya kesamaan illat. Hal tersebut disebut qiyas. Akhirnya, muncullah dasar yang ketiga dalam hukum Islam, disebut dengan qiyas.
Berdasarkan penetapan para ulama, bahwa para imam mujtahid terma’sum (terjaga) dari kesalahan jika mereka sepakat dalam satu putusan hukum Islam yang berdasarkan al-Quran, al-Sunnah dan atau qiyas. Dengan kesepakatan tersebut, muncullah dasar hukum Islam lain, yang disebut dengan ijma’ (konsensus).
Dari penjelasan di atas, bisa ditarik sebuah pemahaman bahwa dalil hukum itu ada 4: al-Quran, al-Sunnah, qiyas dan ijma’. Namun pada hakekatnya, sebagaimana dikatakan oleh Muh}ammad Khud}ari> Beik bahwa hukum Islam kembali pada 2 dalil: al-Quran dan al-Sunnah.
Al-Quran turun dengan menggunakan bahasa Arab dan dijelaskan oleh Nabi saw dengan menggunakan bahasa Arab pula. Para pakar mufti (ahli fatwa) masa sahabat semuanya sangat menguasai dan mahir tentang bahasa tersebut baik segi kandungan kalimatnya juga susunan gaya bahasanya. Di samping itu, juga kedekatan para sahabat dengan Rasul saw, pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat dan beningnya pikiran sucinya hati mereka sehingga para sahabat Rasul saw tidak butuh pada suatu metode-metode dan kaidah bahasa dalam istinbat (menggali) hukum dari sumbernya.
Jika ada permasalahan baru yang belum ada hukumnya, para sahabat mencari dalam al-Quran, jika tidak ditemukan hukumnya mereka cari dalam sunnah Rasul saw dan jika masih belum mereka dapatkan hukumnya mereka melakukan ijtihad yaitu sebuah usaha untuk mengetahui hukum permasalahan baru dengan cara menyamakan permasalaan baru dengan yang lama yang sudah ada hukumnya dengan pertimbangan kesamaan illat dan tetap mengacu pada kemaslahatan umat.
Pernyataan ijtihad sahabat tersebut, sebagaimana digambarkan oleh sahabat Mua’dz bin Jabal, ketika ia akan diutus oleh Rasul saw menuju negeri Yaman. Rasul saw berkata kepada Mua’dz, dengan apa kamu akan memberi keputusan. Mua’dz menjawab, dengan al-Quran, jika tidak aku temukan maka dengan sunnah Rasul saw dan jika tidak aku temukan maka aku akan berijtihad.

Senada dengan pernyataan sahabat Mua’dz di atas, ungkapan yang dilontarkan sahabat ‘Umar bin Khattab kepada Abu Musa al-Ash’ari ketika ia ditunjuk sebagai hakim kotaIraq oleh sahabat Umar. Perkataan ‘Umar : Profesi mahkamah merupakan suatu hal yang wajib dan tindak lampah Rasul saw yang harus dipertahankan. Jika terdapat masalah baru yang belum ada hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah maka pelajari dan ketahui masalah tersebut kemudian qiyaskan dengan permasalahan lama.
Rahmat Syafi’i, menjelaskan dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh , sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak dan berpegang pada al-Quran dan sunah. Dengan kata lain, ushul fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasul saw dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh, seperti ijtihad, qiyas dan nasakh dan takhsis suda ada pada zaman Rasul saw dan sahabat.
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas.
Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddahnya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat al-Talaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 228. dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nas yang datang kemudian dapat menasakh atau mentakhsis yang datang terdahulu.
Pada masa tabi’in, cara mengistinbat hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tanpak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa imam-imam mujtahid. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbat yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara imam Malik berpegang pada amalan orang-orang Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadith ahad.
Dari penjelasan di atas, menggambarkan sebagaimana diungkapkan Rahmat Syafi’i bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabiin dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

Kamis, 05 Februari 2009

ini blog pertamaQ...